4 Tahapan Penting Dalam menentukan Berhasilnya Sebuah Pernikahan
Moveondong.com kita semua pasti ingin bahagia bersama pasangan hingga tua nanti. Namun, pada perjalanannya, pernikahan tidak ubahnya serangkaian ujian kesetiaan, kesabaran, dan komitmen. Ada yang bertahan hingga akhir, menyaksikan anak tumbuh besar hingga berkesempatan menggendong cucu, tapi ada pula yang kandas saat usia pernikahan belum sampai lima tahun.
Sudah tidak ada kecocokan, perbedaan yang tidak bisa dikompromikan lagi, atau perselingkuhan menjadi alasan umum berakhirnya ikatan pernikahan. Mengapa bisa pasangan yang tadinya saling menyayangi bisa menjadi musuh?
Bukankah keduanya sudah berjanji untuk bersama dalam susah dan senang?
Ternyata, jawabannya dapat ditemukan di sejumlah teori tentang pernikahan.
Sebuah pernikahan –di keluarga manapun- umumnya mengalami sejumlah tahap. Ada yang beruntung mengalami semua tahapnya ada juga yang hanya bertahan beberapa tahap.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritis berarti gawat dan genting, namun dapat juga diartikan sebagai keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha.
Nah, masa kritis pernikahan yang akan dijelaskan berikut ini merupakan tahapan pernikahan yang menjadi penentu apakah pernikahan akan berhasil masuk ke tahap selanjutnya, ataukah menjadi sumber masalah yang akan membuat pernikahan terpaksa diakhiri.
Inilah tahapannya:
Pada fase inilah biasanya romantisme sedang berada di puncaknya. Tiada hari tanpa gairah, dan rasa rindu terus membuncah meskipun setiap hari bertemu. Apa yang dilihat dari pasangan adalah kebaikannya, selain juga karena masing-masing masih belum sepenuhnya menunjukkan karakter asli dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Istri masih dapat memberikan waktu dan perhatian seutuhnya pada suami karena biasanya pernikahan belum diramaikan dengan kehadiran anak. Begitu juga suami, masih dapat memanjakan istri dan dapat menghabiskan quality time berdua. Jadi, fase bulan madu ini bisa dibilang tidak ada masalah berarti.
Hanya saja, terdapat tantangan yang muncul karena pasangan terkadang lupa untuk membicarakannya lebih dini: visi dan misi keluarga, pembagian peran dalam rumah tangga, perencanaan jumlah anak dan pengasuhan, masalah finansial, karir, maupun pendidikan jika ada.
Perasaan dimabuk cinta seolah menghentikan waktu sehingga hal-hal mendasar dari pernikahan di atas sering terlewat. Padahal, mengkomunikasikan prinsip hidup dan menentukan bersama arah pernikahan merupakan hal penting yang harus dilakukan sejak awal (bahkan sebelum menikah), yang membuat fase bulan madu ini menjadi masa kritis yang mempengaruhi fondasi pernikahan ke depannya.
Selain kebiasaan sepele, hal yang berpotensi menjadi masalah adalah ketika masing-masing pihak memiliki prioritas yang ternyata tidak bisa berjalan bersamaan. Misalnya, buat suami, weekend adalah saatnya bangun siang setelah lima hari pergi subuh pulang petang. Sementara itu, Ibu yang setiap hari berada di rumah mendambakan weekend ideal dihabiskan dengan olahraga pagi bersama atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan.
Meski tampak menyebalkan, namun perbedaan prioritas semacam tadi bisa menjadi kesempatan bagi istri dan suami untuk belajar kompromi dan membangun teamwork sebelum buah hati lahir dan waktu seolah menjadi semakin pendek.
Meskipun demikian, fase pernikahan ini bisa berlangsung baik sebelum pasangan dikaruniai anak ataupun sesudahnya. Sebagian pakar tidak menggunakan kehadiran buah hati sebagai patokan, namun menggunakan batasan waktu dua tahun untuk mengukur seberapa lama rasa jatuh cinta akan bertahan dan mulai masuk ke fase kenyataan.
Fase kenyataan ini merupakan masa kritis karena banyak pasangan yang memiliki pernikahan hanya seumur jagung karena gagal menerima pasangan apa adanya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk bisa menjalani fase kenyataan ini dengan baik (karena tidak ada pilihan untuk menghindarinya), yaitu:
Diskusi berarti kedua belah pihak berkesempatan untuk berbicara, mendengarkan, dan bersama-sama mencari jalan keluarnya. Jika perlu, Ibu dan suami mengagendakan waktu untuk membicarakan masalah, bukan melakukannya saat pasangan sedang melakukan aktivitas. Pria bukanlah makhluk yang bisa multitasking, sehingga mengalokasikan waktu meski hanya sebentar namun fokus akan lebih efektif.
Kebanyakan pasangan jika berdiskusi dalam keadaan emosi cenderung ingin berbicara dan memenangkan argumen masing-masing. Hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Coba dengarkan pendapat suami, seberapapun hal tersebut menurut Ibu tidak benar. Mencoba mendengarkan dengan sepenuh hati (bukan menunggu waktu untuk membela diri atau mendebat) akan membuat Ibu memiliki waktu untuk benar-benar mencerna dan memahami perkataan suami, sekaligus memikirkan ulang kata-kata yang ingin diucapkan.
Jangan lupa ungkapkan harapan Ibu –dan tanyakan harapan suami- tentang masalah tersebut. Jangan sampai sesi “curhat” hanya menjadi ajang saling mengeluh dan menyalahkan tanpa penyelesaian. Selain itu, ungkapkan harapan dengan i-message atau dengan menggunakan kata ganti "aku", misalnya, “Aku pengen deh Pa, kalau tiap weekend kita bisa olahraga bareng” akan lebih mudah diterima daripada “Papa bangunnya jangan kesiangan donk kalau weekend..!”
Membicarakan perbedaan-perbedaan tersebut secara terbuka akan membantu Ibu dan suami lebih memahami satu sama lain, yang mana merupakan langkah untuk mampu menerima pasangan apa adanya. Hal ini penting untuk memperkuat fondasi pernikahan di tahun-tahun berikutnya karena sungguh, tidak ada manusia yang sempurna. Maka berusaha menerima kekurangan dan selalu mengingat kelebihan pasangan adalah kunci penting bertahannya sebuah pernikahan.
Sebagai tambahan, Beverly Hyman, Ph.D, penulis buku How to Know If It’s Time to Go : A 10-Step Reality Test for Your Marriage, menyarankan pasangan yang masih berada di fase ini untuk melihat lebih jeli masalah-masalah yang berpotensi menjadi penyebab perceraian. Tentu, tidak ada pasangan yang menginginkan perceraian. Namun, jika masalah serius sudah bisa dideteksi lebih dini, akan lebih mudah bagi Ibu dan suami untuk mencari penyelesaian yang terbaik untuk kedua belah pihak.
Banyak orang tua yang pada fase ini mulai mengupayakan tersedianya kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, yang kalau disesuaikan dengan zaman sekarang bisa meliputi membeli rumah dan kendaraan, menabung untuk biaya pendidikan, menyisihkan dana kesehatan, serta kebutuhan sosial dan hiburan. Dengan banyaknya kebutuhan, fase keluarga bisa menjadi fase kritis jika Ibu dan suami tidak mampu mempertahankan kedekatan dan komunikasi di tengah padatnya rutinitas pekerjaan dan rumah tangga.
Ibu yang kelelahan mengurus bayi dan balita membutuhkan dukungan suami agar tidak menjadi stres dan depresi. Begitu juga dengan ibu bekerja yang berusaha keras membagi waktu antara keluarga dan karir. Sementara itu, suami generasi sekarang dituntut untuk mampu berpartisipasi dalam pengasuhan anak sekaligus memenuhi kebutuhan anak agar mereka tumbuh sehat dan bahagia. Ketika salah satu pasangan dianggap kurang berkontribusi atau dianggap kurang pengertian, konflik pun muncul.
Jika masa-masa merepotkan dengan anak balita terlewati dengan baik, fase ini dapat memunculkan tantangan kedua, yaitu rutinitas yang membuat hidup seolah hampa. Yang terjadi setiap hari adalah pengulangan yang terkadang mulai kehilangan makna. Sejumlah pasangan mungkin mulai mempertanyakan apakah ada yang kurang dari hidup mereka? Jenuh bisa menjadi penyebab timbulnya perasaan tersebut, apalagi jika pasangan sudah tak seperti dulu lagi.
Coba lihat kembali, apakah Ibu dan suami melakukan rutinitas harian secara autopilot hingga yang terasa hanyalah harus bangun esok hari dan menunggu datangnya akhir pekan. Jika Ibu sudah jarang mendengar suami tertawa saat mengobrol bersama, atau mungkin ingin mengobrol saja tidak pernah ada waktu, masing-masing sibuk dengan gadget saat waktu luang, segera bicarakan hal tersebut. Tidak adanya pertengkaran bukanlah satu-satunya indikator pernikahan yang tidak sehat karena kurangnya komunikasi pun juga dapat menjadi pertanda adanya masalah.
Untuk masa kritis ini, dr. Hyman menyarankan satu solusi yaitu tetap menjaga kedekatan dengan pasangan terlepas dari sepadat apapun kesibukan Anda berdua. Jangan berharap pernikahan akan terus baik-baik saja jika salah satu pasangan (atau keduanya) menjalani hari secara autopilot. Segera rencanakan aktivitas berdua untuk menumbuhkan lagi rasa bahagia saat bersama, menumbuhkan rasa syukur, dan mempertahankan komunikasi yang efektif namun hangat. Tidak perlu traveling bersama, menonton film di rumah setelah anak-anak tidur pun bisa menjadi quality time, lho!
Meskipun nampak indah, fase ini juga memiliki masa kritis, yaitu ketika rasa sepi di rumah tidak diimbangi dengan aktivitas yang membuat Ibu dan pasangan merasa bermakna. Apalagi, jika keduanya masih belum 100% menerima kekurangan pasangan. Tidak adanya kegiatan yang dapat mengarahkan konsentrasi ke hal positif membuat masalah yang selama ini belum selesai dan tertutupi mendadak muncul kembali. Karena itu, masih ada juga pasangan yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahan pada fase ini.
Bercerai saat anak-anak sudah mapan membuat beban pasangan berkurang, seperti bebas dari rasa bersalah karena membuat anak merasa memiliki keluarga broken home atau bingung akan nafkah jika ia tidak bekerja. Tidak ada lagi istilah “bertahan demi anak”. Karenanya, masalah yang tidak terselesaikan saat pernikahan berada di fase kenyataan atau fase keluarga dapat “meledak” di fase reuni.
Jika terdapat masalah yang masih mengganjal dan komunikasi sudah dilakukan namun tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, menemui konsultan pernikahan sah-sah saja. Setidaknya, ada mediator agar Ibu dan suami bisa saling mengungkapkan uneg-uneg dan harapan dengan efektif. Karena, kondisi tidak ideal yang ditekan dapat menimbulkan atmosfer yang tidak nyaman di rumah. Penyakit fisik dapat muncul sebagai bentuk dari masalah psikis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Keberhasilan menghadapi fase ini akan membuat pernikahan memasuki fase terakhir, yaitu fase saling melengkapi. Syaratnya, Ibu dan pasangan menikmati kebersamaan di masa tua, sudah tidak ada lagi masalah yang mengganjal.
Hati-hati, masa kritis ini bisa terjadi kapan saja!
Di luar masa kritis yang berhubungan dengan ciri khas setiap tahap pernikahan, ada kondisi tertentu yang membuat pernikahan mendadak masuk ke tahap kritis, yaitu:
Yang perlu diingat jika pernikahan Ibu mengalami masalah-masalah di atas adalah jangan pernah berusaha menyelesaikan masalah tersebut sendirian. Meminta bantuan, masukan, nasehat dari anggota keluarga lain, teman, pemuka agama, atau konselor pernikahan dapat meringankan beban. Jalan buntu mungkin saja ditemui.
Jika ini yang terjadi, Dr.Hyman menyarankan masing-masing untuk menanyakan pada diri sendiri, apakah pernikahan ini membuat kita semakin bahagia atau tidak? Apakah masalah ini mempengaruhi kesehatan fisik dan mental? Apa ketakutan terbesar jika harus berpisah?
Semoga saja opsi berpisah tidak sampai menjadi pilihan penyelesaian masalah kecuali terjadi kondisi yang membahayakan seperti kekerasan dalam rumah tangga. Kuncinya, segera selesaikan masalah sebelum mempengaruhi lebih banyak aspek dalam pernikahan. Menjaga kualitas hubungan dengan quality time bersama pasangan dapat menghindarkan pernikahan kandas di masa kritis.
Sudah tidak ada kecocokan, perbedaan yang tidak bisa dikompromikan lagi, atau perselingkuhan menjadi alasan umum berakhirnya ikatan pernikahan. Mengapa bisa pasangan yang tadinya saling menyayangi bisa menjadi musuh?
Bukankah keduanya sudah berjanji untuk bersama dalam susah dan senang?
Ternyata, jawabannya dapat ditemukan di sejumlah teori tentang pernikahan.
Sebuah pernikahan –di keluarga manapun- umumnya mengalami sejumlah tahap. Ada yang beruntung mengalami semua tahapnya ada juga yang hanya bertahan beberapa tahap.
Menurut Dr.Rita DeMaria, seorang konselor pernikahan yang juga menulis buku 7 Stages of Marriage, pernikahan dapat melalui tujuh tahap yang masing-masing memiliki tantangan berbeda. Setiap tahapnya merupakan masa kritis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritis berarti gawat dan genting, namun dapat juga diartikan sebagai keadaan yang paling menentukan berhasil atau gagalnya suatu usaha.
Nah, masa kritis pernikahan yang akan dijelaskan berikut ini merupakan tahapan pernikahan yang menjadi penentu apakah pernikahan akan berhasil masuk ke tahap selanjutnya, ataukah menjadi sumber masalah yang akan membuat pernikahan terpaksa diakhiri.
Inilah tahapannya:
1. Fase Bulan Madu
Tahap pernikahan pertama, yaitu fase bulan madu (honeymoon), merupakan fase yang paling membahagiakan dari sebuah pernikahan. Bagaimana tidak, akhirnya pria yang selama ini Ibu cintai bisa resmi menjadi suami.Pada fase inilah biasanya romantisme sedang berada di puncaknya. Tiada hari tanpa gairah, dan rasa rindu terus membuncah meskipun setiap hari bertemu. Apa yang dilihat dari pasangan adalah kebaikannya, selain juga karena masing-masing masih belum sepenuhnya menunjukkan karakter asli dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Istri masih dapat memberikan waktu dan perhatian seutuhnya pada suami karena biasanya pernikahan belum diramaikan dengan kehadiran anak. Begitu juga suami, masih dapat memanjakan istri dan dapat menghabiskan quality time berdua. Jadi, fase bulan madu ini bisa dibilang tidak ada masalah berarti.
Hanya saja, terdapat tantangan yang muncul karena pasangan terkadang lupa untuk membicarakannya lebih dini: visi dan misi keluarga, pembagian peran dalam rumah tangga, perencanaan jumlah anak dan pengasuhan, masalah finansial, karir, maupun pendidikan jika ada.
Perasaan dimabuk cinta seolah menghentikan waktu sehingga hal-hal mendasar dari pernikahan di atas sering terlewat. Padahal, mengkomunikasikan prinsip hidup dan menentukan bersama arah pernikahan merupakan hal penting yang harus dilakukan sejak awal (bahkan sebelum menikah), yang membuat fase bulan madu ini menjadi masa kritis yang mempengaruhi fondasi pernikahan ke depannya.
2. Fase Kenyataan
Ya, selamat datang di dunia nyata! Pangeran impian bernama suami tetaplah seorang manusia biasa yang memiliki kekurangan, begitu pula istri sendiri. Pada fase ini, Dr.Rita DeMaria menyebutnya sebagai tahap realization, yang dicirikan dengan mulai “sadar”nya masing-masing pihak dari “panah asmara” sehingga mulai merasa terganggu dengan hal-hal sederhana yang dilakukan pasangan, seperti tidak mengembalikan benda ke tempat semula, menunda sesuatu hingga batas waktu terakhir, terlalu banyak berkomentar, atau sesepele tidak membilas sabun batang setelah digunakan.Selain kebiasaan sepele, hal yang berpotensi menjadi masalah adalah ketika masing-masing pihak memiliki prioritas yang ternyata tidak bisa berjalan bersamaan. Misalnya, buat suami, weekend adalah saatnya bangun siang setelah lima hari pergi subuh pulang petang. Sementara itu, Ibu yang setiap hari berada di rumah mendambakan weekend ideal dihabiskan dengan olahraga pagi bersama atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan.
Meski tampak menyebalkan, namun perbedaan prioritas semacam tadi bisa menjadi kesempatan bagi istri dan suami untuk belajar kompromi dan membangun teamwork sebelum buah hati lahir dan waktu seolah menjadi semakin pendek.
Meskipun demikian, fase pernikahan ini bisa berlangsung baik sebelum pasangan dikaruniai anak ataupun sesudahnya. Sebagian pakar tidak menggunakan kehadiran buah hati sebagai patokan, namun menggunakan batasan waktu dua tahun untuk mengukur seberapa lama rasa jatuh cinta akan bertahan dan mulai masuk ke fase kenyataan.
Fase kenyataan ini merupakan masa kritis karena banyak pasangan yang memiliki pernikahan hanya seumur jagung karena gagal menerima pasangan apa adanya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk bisa menjalani fase kenyataan ini dengan baik (karena tidak ada pilihan untuk menghindarinya), yaitu:
Mendiskusikannya dengan pasangan
Diskusi berarti kedua belah pihak berkesempatan untuk berbicara, mendengarkan, dan bersama-sama mencari jalan keluarnya. Jika perlu, Ibu dan suami mengagendakan waktu untuk membicarakan masalah, bukan melakukannya saat pasangan sedang melakukan aktivitas. Pria bukanlah makhluk yang bisa multitasking, sehingga mengalokasikan waktu meski hanya sebentar namun fokus akan lebih efektif.
Mendengarkan penjelasan tanpa interupsi
Kebanyakan pasangan jika berdiskusi dalam keadaan emosi cenderung ingin berbicara dan memenangkan argumen masing-masing. Hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah. Coba dengarkan pendapat suami, seberapapun hal tersebut menurut Ibu tidak benar. Mencoba mendengarkan dengan sepenuh hati (bukan menunggu waktu untuk membela diri atau mendebat) akan membuat Ibu memiliki waktu untuk benar-benar mencerna dan memahami perkataan suami, sekaligus memikirkan ulang kata-kata yang ingin diucapkan.
Ungkapkan harapan dengan i-message
Jangan lupa ungkapkan harapan Ibu –dan tanyakan harapan suami- tentang masalah tersebut. Jangan sampai sesi “curhat” hanya menjadi ajang saling mengeluh dan menyalahkan tanpa penyelesaian. Selain itu, ungkapkan harapan dengan i-message atau dengan menggunakan kata ganti "aku", misalnya, “Aku pengen deh Pa, kalau tiap weekend kita bisa olahraga bareng” akan lebih mudah diterima daripada “Papa bangunnya jangan kesiangan donk kalau weekend..!”
Membicarakan perbedaan-perbedaan tersebut secara terbuka akan membantu Ibu dan suami lebih memahami satu sama lain, yang mana merupakan langkah untuk mampu menerima pasangan apa adanya. Hal ini penting untuk memperkuat fondasi pernikahan di tahun-tahun berikutnya karena sungguh, tidak ada manusia yang sempurna. Maka berusaha menerima kekurangan dan selalu mengingat kelebihan pasangan adalah kunci penting bertahannya sebuah pernikahan.
Sebagai tambahan, Beverly Hyman, Ph.D, penulis buku How to Know If It’s Time to Go : A 10-Step Reality Test for Your Marriage, menyarankan pasangan yang masih berada di fase ini untuk melihat lebih jeli masalah-masalah yang berpotensi menjadi penyebab perceraian. Tentu, tidak ada pasangan yang menginginkan perceraian. Namun, jika masalah serius sudah bisa dideteksi lebih dini, akan lebih mudah bagi Ibu dan suami untuk mencari penyelesaian yang terbaik untuk kedua belah pihak.
3. Fase Keluarga
Saat pernikahan telah diramaikan oleh tangisan bayi, kehidupan pasangan tidak akan lagi sama. Bagaimanapun juga, menjadi orang tua membuat Ibu dan suami harus bisa beradaptasi untuk melepaskan ego sedikit demi sedikit, belajar untuk mengutamakan orang lain (dalam hal ini anak), memantaskan diri untuk bisa menjadi contoh juga sekaligus teman bagi anak. Ini belum termasuk tuntutan finansial yang terkait dengan berbagai kebutuhan anak.Banyak orang tua yang pada fase ini mulai mengupayakan tersedianya kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, yang kalau disesuaikan dengan zaman sekarang bisa meliputi membeli rumah dan kendaraan, menabung untuk biaya pendidikan, menyisihkan dana kesehatan, serta kebutuhan sosial dan hiburan. Dengan banyaknya kebutuhan, fase keluarga bisa menjadi fase kritis jika Ibu dan suami tidak mampu mempertahankan kedekatan dan komunikasi di tengah padatnya rutinitas pekerjaan dan rumah tangga.
Ibu yang kelelahan mengurus bayi dan balita membutuhkan dukungan suami agar tidak menjadi stres dan depresi. Begitu juga dengan ibu bekerja yang berusaha keras membagi waktu antara keluarga dan karir. Sementara itu, suami generasi sekarang dituntut untuk mampu berpartisipasi dalam pengasuhan anak sekaligus memenuhi kebutuhan anak agar mereka tumbuh sehat dan bahagia. Ketika salah satu pasangan dianggap kurang berkontribusi atau dianggap kurang pengertian, konflik pun muncul.
Jika masa-masa merepotkan dengan anak balita terlewati dengan baik, fase ini dapat memunculkan tantangan kedua, yaitu rutinitas yang membuat hidup seolah hampa. Yang terjadi setiap hari adalah pengulangan yang terkadang mulai kehilangan makna. Sejumlah pasangan mungkin mulai mempertanyakan apakah ada yang kurang dari hidup mereka? Jenuh bisa menjadi penyebab timbulnya perasaan tersebut, apalagi jika pasangan sudah tak seperti dulu lagi.
Coba lihat kembali, apakah Ibu dan suami melakukan rutinitas harian secara autopilot hingga yang terasa hanyalah harus bangun esok hari dan menunggu datangnya akhir pekan. Jika Ibu sudah jarang mendengar suami tertawa saat mengobrol bersama, atau mungkin ingin mengobrol saja tidak pernah ada waktu, masing-masing sibuk dengan gadget saat waktu luang, segera bicarakan hal tersebut. Tidak adanya pertengkaran bukanlah satu-satunya indikator pernikahan yang tidak sehat karena kurangnya komunikasi pun juga dapat menjadi pertanda adanya masalah.
Untuk masa kritis ini, dr. Hyman menyarankan satu solusi yaitu tetap menjaga kedekatan dengan pasangan terlepas dari sepadat apapun kesibukan Anda berdua. Jangan berharap pernikahan akan terus baik-baik saja jika salah satu pasangan (atau keduanya) menjalani hari secara autopilot. Segera rencanakan aktivitas berdua untuk menumbuhkan lagi rasa bahagia saat bersama, menumbuhkan rasa syukur, dan mempertahankan komunikasi yang efektif namun hangat. Tidak perlu traveling bersama, menonton film di rumah setelah anak-anak tidur pun bisa menjadi quality time, lho!
4. Fase Reuni
Kapan berpisahnya, kok bisa reuni? Di fase sebelumnya, anak dan pekerjaan seolah membuat Ibu dan suami “terpisah” secara batin. Maka, pernikahan yang berada pada fase reuni dicirikan dengan keluarnya anak-anak dari rumah, baik karena kuliah, bekerja, atau menikah. Secara finansial, kewajiban-kewajiban yang dulu sempat menjadi beban sudah selesai, misalnya cicilan rumah dan kendaraan, asuransi, tabungan pendidikan anak, atau investasi. Biasanya, fase keluarga membutuhkan waktu 10-20 tahun hingga akhirnya berpindah ke tahap ini. Jika “beruntung” sampai pada fase ini, maka Ibu dan suami dapat kembali menikmati waktu berdua seperti mengobrol, berolahraga, mengikuti aktivitas di komunitas atau lingkungan sosial, beberapa masih berkesempatan untuk bekerja.Meskipun nampak indah, fase ini juga memiliki masa kritis, yaitu ketika rasa sepi di rumah tidak diimbangi dengan aktivitas yang membuat Ibu dan pasangan merasa bermakna. Apalagi, jika keduanya masih belum 100% menerima kekurangan pasangan. Tidak adanya kegiatan yang dapat mengarahkan konsentrasi ke hal positif membuat masalah yang selama ini belum selesai dan tertutupi mendadak muncul kembali. Karena itu, masih ada juga pasangan yang memutuskan untuk mengakhiri pernikahan pada fase ini.
Bercerai saat anak-anak sudah mapan membuat beban pasangan berkurang, seperti bebas dari rasa bersalah karena membuat anak merasa memiliki keluarga broken home atau bingung akan nafkah jika ia tidak bekerja. Tidak ada lagi istilah “bertahan demi anak”. Karenanya, masalah yang tidak terselesaikan saat pernikahan berada di fase kenyataan atau fase keluarga dapat “meledak” di fase reuni.
Apa solusi yang bisa diambil untuk menghadapi masa kritis tersebut?
Jika tidak ada masalah yang krusial, cari aktivitas untuk mengisi keseharian. Mengikuti kelompok pengajian/kebaktian/meditasi, aktif dalam kegiatan sosial baik di lingkungan rumah maupun organisasi formal, traveling bersama bisa menjadi solusi.Jika terdapat masalah yang masih mengganjal dan komunikasi sudah dilakukan namun tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, menemui konsultan pernikahan sah-sah saja. Setidaknya, ada mediator agar Ibu dan suami bisa saling mengungkapkan uneg-uneg dan harapan dengan efektif. Karena, kondisi tidak ideal yang ditekan dapat menimbulkan atmosfer yang tidak nyaman di rumah. Penyakit fisik dapat muncul sebagai bentuk dari masalah psikis yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Keberhasilan menghadapi fase ini akan membuat pernikahan memasuki fase terakhir, yaitu fase saling melengkapi. Syaratnya, Ibu dan pasangan menikmati kebersamaan di masa tua, sudah tidak ada lagi masalah yang mengganjal.
Hati-hati, masa kritis ini bisa terjadi kapan saja!
Di luar masa kritis yang berhubungan dengan ciri khas setiap tahap pernikahan, ada kondisi tertentu yang membuat pernikahan mendadak masuk ke tahap kritis, yaitu:
- Masalah keturunan/ kesuburan
- Kematian anggota keluarga
- Masalah kesehatan/ penyakit
- Masalah ekonomi
Yang perlu diingat jika pernikahan Ibu mengalami masalah-masalah di atas adalah jangan pernah berusaha menyelesaikan masalah tersebut sendirian. Meminta bantuan, masukan, nasehat dari anggota keluarga lain, teman, pemuka agama, atau konselor pernikahan dapat meringankan beban. Jalan buntu mungkin saja ditemui.
Jika ini yang terjadi, Dr.Hyman menyarankan masing-masing untuk menanyakan pada diri sendiri, apakah pernikahan ini membuat kita semakin bahagia atau tidak? Apakah masalah ini mempengaruhi kesehatan fisik dan mental? Apa ketakutan terbesar jika harus berpisah?
Semoga saja opsi berpisah tidak sampai menjadi pilihan penyelesaian masalah kecuali terjadi kondisi yang membahayakan seperti kekerasan dalam rumah tangga. Kuncinya, segera selesaikan masalah sebelum mempengaruhi lebih banyak aspek dalam pernikahan. Menjaga kualitas hubungan dengan quality time bersama pasangan dapat menghindarkan pernikahan kandas di masa kritis.