Langit senja
Langit senja usai menangis kala itu. Bagai dua sejoli, dingin selalu ada disamping curahan rintih langit.
Sudah beberapa menit kami duduk di sini dan masih terdiam terpenjara kesunyian. Temaram lampu taman dan bayangan daun pepohonan menyentuh wajahnya nan syahdu. Membentuk sebuah lukisan maya maha karya Sang Pencipta yang tak ternilai.
Sempat terlintas senyum tipis ketika ku melihatnya. Ia segera berpaling, seakan itu wajah pertapa agung yang tak boleh terjamah oleh inderaku. Dan sejenak tanpa ku sadari, binar matanya telah mengurungku, menjerumuskanku dalam gelora asmara yang kian pekat.
———-
Ini adalah pertemuan kami kesekian kalinya. Aku tahu dia senang. Dia selalu ceria dan tersenyum. Bagai senyum seorang sahabat yang lama sekali tak bersua. Senyum yang selalu sama seperti saat aku pertama kali mengenalnya, menyentuh relung terdalam kalbuku. Sejak saat itu ada perasaan yang selalu berkecamuk mesra, tak terungkapkan. Ada nyanyian cinta yang selalu berteriak saat sunyi datang. Ada jerit rindu saat jarak membentang.
———-
”Sampai kapan kita akan terus begini?” kataku datar, merobek sunyi.
”Maksudmu?”
Aku tahu dia mengerti maksudku. Mungkin ia tak ingin ku tanyakan itu. Pertanyaan yang akan merusak nuansa indah yang telah kami ciptakan selama ini.
”Sampai kapan kita akan menjalani kisah ini?” kembali kubertanya, sembari menatap sepasang mata yang bulat sayu menggemaskan, namun mampu menikam jiwaku, tajam.
Dia hanya menjawab dengan diamnya dan tertunduk. Ah, diam inilah yang selama ini telah membunuhku berkali-kali. Diam yang mengabarkan berjuta makna, mengubur lautan logikaku. Diam yang selalu membuatku bertanya tentang arti semua ini.
”Aku yakin kau sudah tahu, selama ini aku menganggapmu lebih dari sekedar teman”, ungkapku.
Dia masih tertunduk. Raut mukanya nampak berbagai perasaan berkecamuk.
Perlahan kuraih tangan halusnya. Kukecup jemarinya bagai sekuntum bunga mawar harum yang baru mekar. Kuletakkan didadaku agar ia rasakan gemuruh detak jantungku. Dia diam saja, membiarkannya, merasakannya, menikmatinya.
”Aku menyayangimu, bahkan lebih dari itu”, kuyakinkan dia.
———-
Waktu seakan berjalan sangat lambat. Kutatap cakrawala, masih gelap tanpa bintang. Hanya rembulan yang bersinar redup terhalang mega hitam. Orang-orang masih menari dipelataran. Jalan tergenang air memantulkan panorama semu. Suara kendaraan hilir mudik. Seekor katak melompat mendekat, seakan tidak tahu keberadaan kami dikeremangan cahaya.
———-
Lama sudah dia membisu. Nampak lemah dan rapuh dengan rentetan perkataanku. Semilir angin lembut menampar wajahnya, menyadarkan dia atas pertanyaanku. Dia menarik nafas panjang dengan senyum dipaksakan. Masih tertunduk, namun dengan mata berkilau. Kantung matanya nampak memerah, seperti menahan sesuatu yang akan tumpah.
”Maafkan aku… ini salahku, andaikan saja aku belum memilikinya, pasti aku akan…”
”Ssstttt… tolong jangan diteruskan, jangan sesali apa yang telah terjadi,” segera kupotong ucapannya. ”Aku sudah paham jawabanmu, tapi jangan kau pinta maafku.”
Sesaat tak ada kata terucap. Kami dalami apa yang baru saja terungkap.
”Jangan kau meminta maafku, karena tidak ada salah diantara kita. Cinta takkan pernah salah,” tambahku pelan. ”Jika mencintaimu adalah suatu kesalahan, maka itu adalah kesalahan terindah yang takkan pernah aku sesali,” kata hatiku.
———-
Tak kupedulikan air sisa hujan menetes dari pepohonan menerpa wajahku. Samar terdengar nyanyian sumbang para pengamen jalanan. Hawa dingin menyengat kulit. Gemeretak dahan-dahan pohon tertiup angin bagai sorak-sorai yang menertawai kisah kami.
———-
Dia tertunduk lebih dalam. Helaian rambut menutup wajahnya. Halus kusibak dan kubelai mesra. Nampak merona merah pipinya.
”Sayangku.. masih adakah kesempatan bagiku?”
”Kesempatan?”
”Ya, kesempatan. Sekecil apapun itu.”
Sejenak ia terpejam, larut dalam galau perasaannya, dan kembali lagi dengan seberkas senyuman, berusaha meyakinkanku.
”Kesempatan itu masih ada. Bukankah kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok.”
———-
Waktu telah lama berselang. Masih kugenggam erat tangannya, seolah takkan pernah ku lepas. Ia mainkan ujung rambutnya yang hitam lurus. Kakinya disilangkan dan bergoyang. Bibir merahnya lantunkan nyanyian lirih yang tak dapat kudengar. Lama kubiarkan ia hanyut sendiri dalam buai angan-angannya.
”Mengapa kau menyukaiku?” tiba-tiba dia bertanya. ”Apakah karena kecantikanku?”
”Aku tak tahu mengapa,” langsung kujawab. ”Bukan munafik, awalnya aku memang tertarik pada kecantikanmu,” sejenak ku terdiam. ”Tetapi menurutku kecantikan itu fana. Lalu apakah jika nanti saat kau tidak cantik lagi maka aku boleh tidak menyukaimu? Tentu tidak. Meskipun kau akan tetap cantik bagiku. Ah, menurutku perasaan ini lebih dari itu. Aku tak tahu mengapa.”
Dia tersenyum dan kembali memainkan ujung rambutnya, kembali larut dalam alam pikirannya. Dilihatnya langit malam dan rembulan. Membawa angannya terbang jauh tinggi keangkasa.
———-
”Apakah perasaanmu sama denganku?” kali ini tanyaku menyentak lamunannya.
Dia menatapku lekat, seakan bertanya, ”Apakah hal itu masih perlu kau pertanyakan?”
Lagi-lagi kebisuan menyelimuti.
”Jika kau merasa bahwa aku selama ini mengganggu hidupmu tolong katakan sejujur-jujurnya,” kataku menuntut ketegasan.
”Lantas, apa yang akan kau lakukan?”
”Jika benar, maka aku tidak akan mengganggumu lagi dan akan pergi jauh dari hidupmu.”
Dia diam, tertunduk layu. Ada awan mendung di raut wajahnya, segelap langit malam itu, seredup dewi malam saat itu. Sayup-sayup terdengar suaranya yang halus, namun serak dan lirih, seolah membisiki hatiku.
”Aku tak ingin kau pergi,” katanya sambil lebih mendekat kepadaku.
Sunyi.
Senyap.
Hangat.
”Mengapa?”
Pertanyaan bodoh, seakan aku tak tahu jawaban pertanyaanku sendiri. Hanya seuntai senyuman dan tatapan lembutnya yang menjawab semua tanya di hatiku.
———-
Langit masih tanpa bintang, mendung, hujan belum kembali turun.
———-
Kembali kukecup jemarinya. Dia tersenyum manis, bahkan sangat manis. Kubalas senyum itu. Kami kembali larut dalam hangatnya diam. Melupakan kemarin dan esok.
Sudah beberapa menit kami duduk di sini dan masih terdiam terpenjara kesunyian. Temaram lampu taman dan bayangan daun pepohonan menyentuh wajahnya nan syahdu. Membentuk sebuah lukisan maya maha karya Sang Pencipta yang tak ternilai.
Sempat terlintas senyum tipis ketika ku melihatnya. Ia segera berpaling, seakan itu wajah pertapa agung yang tak boleh terjamah oleh inderaku. Dan sejenak tanpa ku sadari, binar matanya telah mengurungku, menjerumuskanku dalam gelora asmara yang kian pekat.
———-
Ini adalah pertemuan kami kesekian kalinya. Aku tahu dia senang. Dia selalu ceria dan tersenyum. Bagai senyum seorang sahabat yang lama sekali tak bersua. Senyum yang selalu sama seperti saat aku pertama kali mengenalnya, menyentuh relung terdalam kalbuku. Sejak saat itu ada perasaan yang selalu berkecamuk mesra, tak terungkapkan. Ada nyanyian cinta yang selalu berteriak saat sunyi datang. Ada jerit rindu saat jarak membentang.
———-
”Sampai kapan kita akan terus begini?” kataku datar, merobek sunyi.
”Maksudmu?”
Aku tahu dia mengerti maksudku. Mungkin ia tak ingin ku tanyakan itu. Pertanyaan yang akan merusak nuansa indah yang telah kami ciptakan selama ini.
”Sampai kapan kita akan menjalani kisah ini?” kembali kubertanya, sembari menatap sepasang mata yang bulat sayu menggemaskan, namun mampu menikam jiwaku, tajam.
Dia hanya menjawab dengan diamnya dan tertunduk. Ah, diam inilah yang selama ini telah membunuhku berkali-kali. Diam yang mengabarkan berjuta makna, mengubur lautan logikaku. Diam yang selalu membuatku bertanya tentang arti semua ini.
”Aku yakin kau sudah tahu, selama ini aku menganggapmu lebih dari sekedar teman”, ungkapku.
Dia masih tertunduk. Raut mukanya nampak berbagai perasaan berkecamuk.
Perlahan kuraih tangan halusnya. Kukecup jemarinya bagai sekuntum bunga mawar harum yang baru mekar. Kuletakkan didadaku agar ia rasakan gemuruh detak jantungku. Dia diam saja, membiarkannya, merasakannya, menikmatinya.
”Aku menyayangimu, bahkan lebih dari itu”, kuyakinkan dia.
———-
Waktu seakan berjalan sangat lambat. Kutatap cakrawala, masih gelap tanpa bintang. Hanya rembulan yang bersinar redup terhalang mega hitam. Orang-orang masih menari dipelataran. Jalan tergenang air memantulkan panorama semu. Suara kendaraan hilir mudik. Seekor katak melompat mendekat, seakan tidak tahu keberadaan kami dikeremangan cahaya.
———-
Lama sudah dia membisu. Nampak lemah dan rapuh dengan rentetan perkataanku. Semilir angin lembut menampar wajahnya, menyadarkan dia atas pertanyaanku. Dia menarik nafas panjang dengan senyum dipaksakan. Masih tertunduk, namun dengan mata berkilau. Kantung matanya nampak memerah, seperti menahan sesuatu yang akan tumpah.
”Maafkan aku… ini salahku, andaikan saja aku belum memilikinya, pasti aku akan…”
”Ssstttt… tolong jangan diteruskan, jangan sesali apa yang telah terjadi,” segera kupotong ucapannya. ”Aku sudah paham jawabanmu, tapi jangan kau pinta maafku.”
Sesaat tak ada kata terucap. Kami dalami apa yang baru saja terungkap.
”Jangan kau meminta maafku, karena tidak ada salah diantara kita. Cinta takkan pernah salah,” tambahku pelan. ”Jika mencintaimu adalah suatu kesalahan, maka itu adalah kesalahan terindah yang takkan pernah aku sesali,” kata hatiku.
———-
Tak kupedulikan air sisa hujan menetes dari pepohonan menerpa wajahku. Samar terdengar nyanyian sumbang para pengamen jalanan. Hawa dingin menyengat kulit. Gemeretak dahan-dahan pohon tertiup angin bagai sorak-sorai yang menertawai kisah kami.
———-
Dia tertunduk lebih dalam. Helaian rambut menutup wajahnya. Halus kusibak dan kubelai mesra. Nampak merona merah pipinya.
”Sayangku.. masih adakah kesempatan bagiku?”
”Kesempatan?”
”Ya, kesempatan. Sekecil apapun itu.”
Sejenak ia terpejam, larut dalam galau perasaannya, dan kembali lagi dengan seberkas senyuman, berusaha meyakinkanku.
”Kesempatan itu masih ada. Bukankah kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok.”
———-
Waktu telah lama berselang. Masih kugenggam erat tangannya, seolah takkan pernah ku lepas. Ia mainkan ujung rambutnya yang hitam lurus. Kakinya disilangkan dan bergoyang. Bibir merahnya lantunkan nyanyian lirih yang tak dapat kudengar. Lama kubiarkan ia hanyut sendiri dalam buai angan-angannya.
”Mengapa kau menyukaiku?” tiba-tiba dia bertanya. ”Apakah karena kecantikanku?”
”Aku tak tahu mengapa,” langsung kujawab. ”Bukan munafik, awalnya aku memang tertarik pada kecantikanmu,” sejenak ku terdiam. ”Tetapi menurutku kecantikan itu fana. Lalu apakah jika nanti saat kau tidak cantik lagi maka aku boleh tidak menyukaimu? Tentu tidak. Meskipun kau akan tetap cantik bagiku. Ah, menurutku perasaan ini lebih dari itu. Aku tak tahu mengapa.”
Dia tersenyum dan kembali memainkan ujung rambutnya, kembali larut dalam alam pikirannya. Dilihatnya langit malam dan rembulan. Membawa angannya terbang jauh tinggi keangkasa.
———-
”Apakah perasaanmu sama denganku?” kali ini tanyaku menyentak lamunannya.
Dia menatapku lekat, seakan bertanya, ”Apakah hal itu masih perlu kau pertanyakan?”
Lagi-lagi kebisuan menyelimuti.
”Jika kau merasa bahwa aku selama ini mengganggu hidupmu tolong katakan sejujur-jujurnya,” kataku menuntut ketegasan.
”Lantas, apa yang akan kau lakukan?”
”Jika benar, maka aku tidak akan mengganggumu lagi dan akan pergi jauh dari hidupmu.”
Dia diam, tertunduk layu. Ada awan mendung di raut wajahnya, segelap langit malam itu, seredup dewi malam saat itu. Sayup-sayup terdengar suaranya yang halus, namun serak dan lirih, seolah membisiki hatiku.
”Aku tak ingin kau pergi,” katanya sambil lebih mendekat kepadaku.
Sunyi.
Senyap.
Hangat.
”Mengapa?”
Pertanyaan bodoh, seakan aku tak tahu jawaban pertanyaanku sendiri. Hanya seuntai senyuman dan tatapan lembutnya yang menjawab semua tanya di hatiku.
———-
Langit masih tanpa bintang, mendung, hujan belum kembali turun.
———-
Kembali kukecup jemarinya. Dia tersenyum manis, bahkan sangat manis. Kubalas senyum itu. Kami kembali larut dalam hangatnya diam. Melupakan kemarin dan esok.